Ahmadiyah ada dua, Qadian dan Lahore. Qadian menjadikan Mirza Ghulam Ahmad (MGA) sebagai Nabi. Sedangkan Lahore, menyebut MGA sebagai mujaddid. Keduanya sesat. Bagaimana mungkin seorang pembajak Al-Qur’an layak dijadikan mujaddid. Ini alasan pertama. Alasan kedua, kalau Ahmadiyah itu sama dengan kita, mereka tidak perlu repot-repot membuat nama baru. Pemilihan nama Ahmadiyah tentu bukan tanpa tujuan. Selain untuk menyatakan ‘kami berbeda dengan anda’ bisa juga bermakna ‘kami tidak mau disamakan dengan anda’. Sebelum dan sesudah MGA tentu banyak lahir sejumlah mujaddid. Kalau kelahiran setiap sosok yang dikategorikan sebagai mujaddid itu kemudian diikuti dengan pembentukan ‘gerakan’ tersendiri dengan nama yang berbeda, maka betapa banyaknya gerakan-gerakan seperti Ahmadiyah. Kalau Qadian konsisten, bahwa sosok Nabi terus ada, maka mereka harus mau menerima kedatangan nabi baru setelah MGA, misalnya ‘nabi’ Lia, Ahmad Moshaddeq dan seterusnya. Ternyata mereka tidak konsisten. Sebagaimana layaknya sebuah ‘konstituen’ yang merasa berbeda dengan kita, Ahmadiyah (Qadian dan Lahore), lebih cenderung merujuk ‘ulama-ulama’ dari kalangan mereka sendiri. Hal ini antara lain bisa dilihat dari buku-buku yang mereka terbitkan. Isa Bugis, Lembaga Kerasulan, NII KW9 Berbeda dengan Ahmadiyah Qadian yang berpaham bahwa sosok nabi terus ada, namun tidak membawa risalah baru (melanjutkan risalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam), maka aliran sesat Isa Bugis agak sedikit berbeda. Isa Bugis berpaham, Rasul/ Nabi sebagai sosok sudah berakhir, ditutup oleh Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Namun, ‘lembaga kerasulan’ tetap ada. Dan yang menjalankan fungsi/tugas sebagaimana layaknya ‘rasul/nabi’ pada lembaga kerasulan adalah Isa Bugis dan ‘ulama-ulama’ dari kalangan mereka. Bedanya, kalau Ahmadiyah Qadian menunjuk ‘nabi’ baru pada sosok tertentu (MGA), paham Isa Bugis menjadikan sejumlah orang sebagai ‘nabi’ kolektif. Paham Isa Bugis diteruskan antara lain oleh Abdul Karim Hasan (aktivis/petinggi NII pasca tewasnya SMK –SM Kartosuwirjo). Namun karena paham itu dinyatakan berbeda dengan paham NII (Negara Islam Indonesia) dan mendapat penolakan, maka ia menyatakan keluar dari NII faksi Adah Djaelani (tahun 1983). Tahun 1986, Toto Salam setelah sekian lama melarikan diri ke Malaysia, kembali ke Indonesia, dan bergabung dengan Abdul Karim Hasan (pimpinan Lembaga Kerasulan) serta mengajak Abdul Karim Hasan kembali mengikuti ‘manhaj’ NII. Artinya, Toto berhasil membawa paham Isa Bugis/lembaga kerasulan yang sesat itu ke dalam NII KW9. Setelah Karim Hasan meninggal, diganti Rais Ahmad. Tahun 1992 Rais Ahmad ditangkap aparat hingga meninggal di penjara (1997). Sejak Rais Ahmad ditangkap, Toto Salam menjadi petinggi NII KW9. Paham sesat lembaga kerasulan semakin leluasa diimplementasikan. Hasilnya? Jadilah gerakan NII yang ajarannya antara lain tidak mewajibkan shalat, boleh mencuri harta orang kafir. Kita semua yang belum menjadi bagian dari mereka (NII KW9) adalah kafir. Mereka berada di NKA (Negara Karunia Allah), sedangkan kita semua (yang bukan golongan mereka) berada di tempat sampah. Begitu paham mereka. Tahun 1999 Toto Salam meresmikan Al-Zaytun, pesantren megah di Indramayu Jawa Barat. Sejak saat itu, ia dikenal dengan nama baru yaitu Syaikh AS Panji Gumilang, presiden NKA. Adah Djaelani juga nongkrong di sana setiap hari. Syi’ah Kalangan Syi’ah juga lebih cenderung (bahkan hanya) merujuk kepada ulama-ulama mereka sendiri. Penamaan diri berupa Syi’ah juga sama dengan Ahmadiyah yaitu untuk menunjukkan bahwa ‘kami berbeda dengan anda’ atau ‘kami tidak mau disamakan dengan anda’. Kalau Syi’ah sama dengan kita, mereka tidak perlu repot-repot menggunakan nama berbeda (tersendiri). Makna Syi’ah adalah pengikut (Ali). Ini jelas keliru. Sebab, muslim itu pengikut Muhammad SAW, sebagaimana Sayyidina Ali juga pengikut Muhammad SAW. Artinya tidak mungkin Sayyidina Ali berpaham (atau bermazhab) Syi’ah. “Masak, jeruk makan jeruk.” September 1997, di Aula Masjid Istiqlal, Jakarta, pernah diadakan seminar nasional yang mengupas Syi’ah. Usai seminar, makalah-makalah yang pernah dibawakan, dikodifikasi menjadi sebuah buku berjudul Mengapa Kita Menolak Syi’ah. Pada halaman 190 buku tersebut tercantum keterangan bahwa MUI pada tahun 1984 pernah mengeluarkan fatwa tentang Syi’ah. Isinya, bahwa syi’ah mempunyai perbedaan-perbedaan pokok dengan Sunni (Ahlus Sunnah wal Jama’ah). Sedangkan pada halaman 191 hingga 210 dipublikasikan sebagian contoh dari perbedaan Al-Qur’an versi Sunnah dengan Syi’ah. Sumbernya, kitab Fashlul Khithaab yang merupakan karya ulama Syi’ah bernama Husein bin Muhammad Taqiy An-Nuuri At-Thabarsi. Kalau kitab sucinya beda, namanya juga beda, apakah masih bisa dikatakan sama? Masalahnya, kini kalangan Syi’ah jauh lebih pandai menyerupai kita misalnya Quraish Shihab. Juga, membungkus ke-Syi’ah-annya dengan nama yang lebih samar seperti Ahlul Bait. Padahal inti ajarannya sama juga. Akibatnya, generasi muda sekarang kurang mengenali Syi’ah. Kenalan saya yang terjangkiti Syi’ah, menyebut Sayyidina Ali dengan Imam Ali SAW. Sama dengan Ahmadiyah Qadian menyebut ‘nabi’ mereka dengan Mirza Ghulam Ahmad shallallahu ‘alaihi wasallam. Lia Eden semasih berupa agama Salamullah juga diberi embel-embel SAW di belakang namanya. Kenalan lain yang terjangkiti Syi’ah, mengatakan, melaknat ‘Aisyah ra dan Khulafa ur Rasyidin (kecuali Sayyidina Ali) adalah wajib dan berpahala. Mereka juga mengatakan, ‘Aisyah ra sudah dicerai oleh Nabi Muhammad SAW. Itulah di antara kesesatannya. Kalangan Syi’ah (atau Ahlul Bait, klaim mereka) juga berpendapat bahwa belajar Islam yang afdhol adalah melalui para keturunan nabi (ahlul bait). Dan yang dimaksud dengan keturunan nabi adalah dari jalur Fathimah. Ini mirip dengan doktrin LDII alias Islam Jamaah alias Darul Hadits yang berpaham: belajar Islam yang manqul adalah yang dari amirnya yaitu Madigol (Nur Hasan Ubaidah Lubis) yang kemudian dilanjutkan oleh keturunannya, Abdu Dhohir, dan kini Abdul Aziz. Masih banyak doktrin (ajaran) Syi’ah yang tidak saja berbeda dengan paham kita (Islam), tetapi menyimpang dan sesat. Misalnya, Syi’ah memberlakukan nikah mut’ah (kawin kontrak), padahal jelas telah dilarang oleh Nabi Muhammad saw sampai hari qiyamat. Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam besabda, « يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنِّى قَدْ كُنْتُ أَذِنْتُ لَكُمْ فِى الاِسْتِمْتَاعِ مِنَ النِّسَاءِ وَإِنَّ اللَّهَ قَدْ حَرَّمَ ذَلِكَ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ فَمَنْ كَانَ عِنْدَهُ مِنْهُنَّ شَىْءٌ فَلْيُخَلِّ سَبِيلَهُ وَلاَ تَأْخُذُوا مِمَّا آتَيْتُمُوهُنَّ شَيْئًا ». “Wahai manusia, aku pernah membolehkan kamu melakukan (nikah) mut’ah dengan wanita. Kemudian Allah telah mengharamkan hal itu sampai hari kiamat. Oleh karena itu, jika masih ada yang memiliki wanita yang diperoleh melalui jalan mut’ah maka hendaklah ia melepaskannya dan janganlah kamu mengambil sedikitpun dari apa yang telah kamu berikan kepada mereka.” (HR. Muslim) Gerombolan Liberal Bagaimana dengan gerombolan JIL (Jaringan Islam Liberal) dan semacamnya? Sama juga. Mereka menggunakan nama yang berbeda, yaitu Islam Liberal. Mereka cenderung merujuk ‘ulama’ mereka sendiri. Bahkan mereka mempunyai cara memahami Islam yang berbeda dengan kita, antara lain diekspresikan melalui pendekatan hermeneutika (metode penafsiran dari musyrikin Yunani yang diadopsi oleh Yahudi dan Nasrani, kemudian sekarang diterapkan orang-orang liberal di IAIN, UIN, STAIN, STAIS dan sebagian Fakultas-Fakultas Agama di Perguruan Tinggi, untuk mengacak-acak penafsiran Al-Qur’an). Bahkan mereka berani mengatakan, bahwa kita ini gemar mempertuhankan teks, sehingga jumud dan bahlul. Kaum Sepilis (sekuler, pluralis –menyamakan semua agama— dan liberalis) terutama Ulil Abshar Abdalla menjuluki Umat Islam yang mentaati Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagai orang yang menyembah teks. Untuk memahami ajaran Kristen (versi Paulus) barangkali pendekatan Hermeneutika memang mereka perlukan. Bahkan barangkali itu merupakan cara yang perlu ditempuh menurut mereka dalam memahami teks-teks kitab suci mereka karena semuanya tidak tersedia dalam bahasa asli. Jelas, berbeda dengan kitab suci Al-Qur’an yang bahasa aslinya terjaga. Maka otomatis sama sekali tidak memerlukan hermeneutika. Melalui pendekatan hermeneutika ini, dihasilkanlah ratusan bahkan mungkin ribuan sekte Kristen, yang tentunya masing-masing merasa paling murni dan paling mendekati ajaran para assaabiquunal awwalluun versi mereka. Karena merasa ‘paling’ tadi, maka mereka pun menggunakan nama yang berbeda: ada Nehemia, Gereja 12 Rasul, Bethel, dan sebagainya. Para ‘ulama’ yang mereka rujuk juga sesuai dengan kecenderungannya masing-masing. Apakah ini yang dimaui misionaris JIL? (tede/haji/ nahimunkar.com) By nahimunkar.com on 7 April 2008 |
تم التطوير باستخدام نظام مداد كلاود لإدارة المحتوى الرقمي بلغات متعددة .